“Kemandulan” Komite dan Indikasi Kepsek Ciptakan Pembodohan Publik



Paranoia seorang kepala sekolah yang ditelisik seantero geliat SMAN 4 Pariaman beberapa tahun belakang dibawah kepemimpinan Drs. Arrahmi terus menuai kecaman dan kontroversi, baik di internal pendidikan maupun dengan walimurid serta publik.

Dari pantauan dilapangan menyebutkan, ada beberapa kebijakan kontroversi yang diterapkan oleh Rahmi semenjak menjadi kepala sekolah SMAN 4 Pariaman, bahkan kecaman dari berbagai unsur masyarakat yang sempat diekspos oleh beberapa media massa, baik harian maupun mingguan lokal. Diantaranya ; beberapa bulan Rahmi menjadi kepala sekolah, walimurid dihebohkan dengan “pungli” yang mewajibkan siswa untuk membayarkan “uang computer”, padahal Pemko Pariaman selalu menyerukan bebas pungutan wajib belajar 12 tahun untuk warganya.

Serta ada beberapa permasalahan yang tidak bisa dijabarkan mengingat kendala psikologis mantan siswi SMAN 4 yang bermasalah tersebut, yang jelas akan berdampak negatif bagi perkembangan sekolah akibat imej yang mampu menjatuhkan mental bagi pelajar. Hal itu tidak terlepas dari didikan yang didapat dalam sekolah.

Belum lagi cukup dampak “kebobrokan” yang diciptakan, Drs. Arrahmi yang dikenal arogan ini pun kembali membuat ulah. Kali ini kebijakan yang lebih konyol lagi dibuat bersama dengan komite sekolah. Secara implisit jika ditelaah dengan nalar sungguh disebut sebagai “kriteria konyol”. Sebagai kepala sekolah, Dra. Arrahmi dan disepakati oleh komite sebagai ketuanya, Armaizal S.Sos membuat beberapa point kesepakatan tentang “persyaratan mutasi siswa”. Pada intinya jabatan strategis dan vital sebagai seorang kepala harusnya mampu membuat sebuah keputusan yang sejatinya sukar untuk dapat diberikan keringan dalam konteks sebuah permasalahan internal, sehingga setidaknya dari komitmen seorang kepala mampu meringankan segala kekurangan dari sebuah permasalahan, namun itu terlihat tidak bertabiat oleh Rahmi.

Adapun serta bagaimanapun “persyaratan mutasi siswa” yang disepakati ini, nyata secara implisit telah berani menentang progam wajib belajar 12 tahun yang dicanangkan oleh pemerintah pusat, akibatnya berdampak akan munculnya diskriminasi terhadap seluruh pelajar yang ingin melanjutkan sekolahnya ke SMAN 4 Pariaman. Pada point A, adapun salah satu syaratnya ; memiliki nilai rapor minimal 5 angka diatas batas KKM  pada semester 1 dan 2.

Diskriminasi yang dimunculkan serta menimbulkan persepsi “pembodohan public” akibat “peraturan asal” yang disepakati ini telah dirasakan oleh seorang siswi berprestasi yang ingin pindah sekolah dari luar daerah.

Kronologinya, sebut saja Ade, Ade merupakan seorang siswi berprestasi disekolahnya saat ini duduk dibangku kelas XI, Ade selalu mendapat peringkat kelas pada semester 1 dan 2 sewaktu duduk dikelas X, dimana guru kelasnya menyatakan bahwa nilai rapor Ade merupakan salah satu yang terbaik diantara yang lain. Siswi ini tadinya adalah tamatan SMPN 7 Pariaman yang mempunyai rayon di SMAN 4 Pariaman, berhubung terkendala dengan kondisi ekonomi, Ade memutuskan untuk sekolah di Jambi dan tinggal bersama dengan kakaknya pada saat itu mampu membiayai sekolah Ade dengan berdagang.

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, seiring prestasi yang diperoleh disekolah, lagi-lagi tidak didukung oleh faktor ekonomi yang selalu menjadi kendala, yang diandalkan hanyalah dagangan dari sang kakak. Naas, sang kakak pun bangkrut, Ade kesehariannya membantu sang kakak berdagang sebelum berangkat sekolah dan sepulang sekolah kini tak lagi seperti saat itu. Ade pun bersama sang kakak memutuskan untuk pindah ke kampung halaman, Desa Naras 1, Pariaman Utara. Dan ingin melanjutkan sekolah ke SMAN 4 Pariaman yang berada di Desa Naras Hilir.

Tapi apa daya, “peraturan asal” mengikat Ade untuk tidak bisa melanjutkan sekolahnya di SMAN 4, pasalnya peraturan yang dibuat kepala sekolah seiring dengan “kemandulan” komite yang tidak mampu memberikan pertolongan terhadap warganya sendiri menimbulkan kekecewaan kepada warga sekitar. Peraturan yang dibuat pada poin A tadi jelas tidak efektif dan bisa dikatakan gagal total, akibat dampak yang didapatkan oleh Ade karena tidak diterima bersekolah di SMAN 4 Pariaman yang terkendala dengan “peraturan asal” tadi yang jelas telah menetang program wajib belajar 12 tahun. Pada poin tersebut dibunyikan memiliki nilai rapor minimal 5 angka diatas batas KKM  pada semester 1 dan 2.

Namun juga tidak dipungkiri, meskipun nilai rapor Ade merupakan yang terbaik disekolahnya, tetapi masih saja ada beberapa nilai yang menjadi kendala untuk kepindahannya di SMAN 4, Ade pada semester 1 memiliki nilai Sosiologi dan Matematika dibawah kriteria nilai yang dibuat oleh sekolah SMAN 4 yakni 70 dan 74, sedangkan pada semester 2 Ade hanya terkendala dengan nilai pelajaran Ekomoni dengan nilai 74. seharusnya, dalam kebijakan baru yang dibuat SMAN 4 nilai minimal adalah 75.

“Harusnya, kepala sekolah beserta dengan komite mampu mengingat dengan menimbang dalam memutuskan sebuah kebijakan baru disekolah, dengan objek seperti Ade, beberapa hal yang harus menjadi rujukan oleh sekolah, yakni, siswa berperingkat (prestasi), dan domisili pelajar yang akan memasuki sekolah. Dan itulah tugas pokok seorang guru, mendidik muridnya dari tidak bisa menjadi bisa, kalau ini kan tidak, SMA4 ini hanya menerima siswa pintar, kalau siswa itu pintar mau ngapain lagi dia kesekolah, padahal Ade ini sudah diakui walikelasnya mempunyai nilai tertinggi disekolahnya, logika bodohnya saja kan seperti itu, bahwa SMAN 4 Pariaman sengaja tidak mau menerima murid pindahan dan jelas peraturan itu tidak bisa ditetapkan, harus dihapus karena tidak efektif dan telah menentang undang-undang wajib belajar 12 tahun,” Beber Ikhlas, seorang aktifis yang peduli dunia pendidikan dan menjabat sebagai Sekretaris Lembaga Investigasi Tindak Pidana Korupsi (LI-TPK) untuk Propinsi Sumatera Barat.

Dia melanjutkan, dalam aturan baku hukum tatanegara ihwal pengesahan sebuah peraturan harus diuji kelayakan dahulu, seberapa efektifkah peraturan tersebut dan berapa besar dampak yang diciptakan, apabila sebuah peraturan yang dibuat oleh pemerintah bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, contoh, jika sebuah perda (peraturan daerah) bertentangan dengan peraturan gubernur (pergub) saja, maka perda tersebut dinyatakan batal.

Perihal peraturan baru yang dibuat pihak SMAN 4, Rahmi yang dikonfirmasi tetap merasa jika peraturan yang tercipta itu tidak lain hanyalah menciptakan diskriminatif serta sangat tidak efektif dia rasakan sudah benar adanya. “silahkan saja lihat di dinding itu, kan sudah ada itu untuk syarat siswa yang ingin pindah,” ucapnya singkat tanpa basa-basi sambil menunjuk dinding tempat persyaratan tersebut ditempelkan.

Senada dengan komite. Armaizal yang merupakan putra daerah yang harusnya dapat membantu warganya ketika mendapat kesulitan dalam konteks permasalahan ini tidak dapat diharapkan. “ya, itulah peraturannya, meskipun baru dibuat oleh inisiatif sekolah sendiri dengan kesepakatan komite, ya.. itulah adanya,” tukuknya ringkas.

“Apabila peraturan yang dibuat SMAN 4 itu terbukti merugikan publik dan menentang peraturan pusat, maka itu wajib akan kami laporkan. Peraturan asal yang diciptakan kepala sekolah dengan komite itu jelas tidak punya pertimbangan, mungkin saja karna sifat paranoid kepala sekolah atau obsesi yang super-over-hyper sehingga tidak memikirkan dampak lain, itu bisa saja terjadi, dan itu telah memenuhi unsur diskriminasi, apalagi dilihat dari kronologisnya, tidak ada alasan bagi sekolah untuk tidak menerima Ade yang jelas jelas adalah warga disekitar sekolah, mungkin jika dikaji dari history pembuatan gedung sekolah, tanah yang digunakan oleh sekolah tersebut adalah tanah milik kaum warga sekitar, padahal, niniak mamak (pemuka masyarakat) setempat memprioritaskan tanah ulayat yang dihibahkan demi pembangunan gedung sekolah ini gunanya sebagai destinasi anak cucunya bersekolah nantinya. Kepala sekolah bersama dengan komite bisa dituding oleh masyarakat telah melakukan pembodohan publik karna peraturan carut marut yang dibuat merugikan mereka, dan jabatan kepala sekolah bisa terancam apabila ini dibiarkan, besar kemungkinan warga akan marah, karena peraturan ini memang spele tetapi konyolnya karena menentang program wajib belajar 12 tahun,” tambah Ikhlas mengakhiri.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Melirik Proyek Bangkai SPAM Pendamping IKK Hongaria PT. Citra Karya Indo Raya di Pessel dan Pariaman

PROYEK ABAL-ABAL WINRIP PP-STATIKA CONSORTIUM, TAK SESUAI

“Proyek Siluman” PT Nasiotama Karya Bersama Dinilai Hanya Habiskan Uang Negara