Potret Buram Arogansi Congkak Oknum Kepsek
Nur Eliawati,S.Pd, seorang kepala sekolah di Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) Padusunan, yang terletak di Desa Pauh, Kecamatan Pariaman Tengah. Sangat disesalkan perlakuannya kepada wartawan yang seolah menganggap remeh pekerjaan di bidang jurnalistik, pasalnya, ia beranggapan siang itu, Sabtu (23/3/13) dua orang wartawan menyambangi sekolahnya-seyogya-nya untuk melakukan tugas pokok seorang jurnalis yakni melakukan klarifikasi kebenaran informasi yang beredar ditengah masyarakat yang diterima oleh wartawan mendapat jamuan negatif.
Sebut saja narasumber. Narasumber merasa gerah dengan iuran setiap harinya diminta oleh anaknya senilai seribu rupiah, informasi lain yang diberikan oleh narasumber tersebut, uang itu dipergunakan untuk membeli kredit sebuah mobil baru Suzuki APV yang katanya dipergunakan untuk kendaraan transportasi sekolah. “saya mempertanyakan iuran yang diminta kesetiap siswa oleh Mtsn Padusunan setiap harinya, seperti anak kami, setiap hari ia meminta uang jajan tambahan sebesar seribu rupiah katanya sumbangan itu diwajibkan untuk membeli sebuah mobil APV yang sekarang sudah ada disekolah, katanya mobil itu digunakan untuk transportasi sekolah. Dan iuran itu diminta setiap hari, juga iuran itu alasannya dipergunakan untuk membayar angsuran mobil dan bahan bakarnya,” tutur narasumber yang merasa keberatan dengan kebijakan sekolah.
Namun ironis, kedatangan kami waktu itu tidak di inginkan kepala sekolah, Nur Eliawati. Ia beralasan, dirinya saat ini sedang buru-buru menuju kota Padang karena ada kegiatan yang harus dihadiri. dan diakhir pembicaraan ia mengatakan urusan yang sedang ia tuju saat itu lebih penting dari pada mengklarifikasi pertanyaan wartawan yang bermaksud meluruskan opini miring yang beredar.
Menjawab pertanyaan ihwal iuran yang dipungut oleh sekolahnya, Nur Eliawati menganggap hal tersebut adalah lumrah, alasannya bukan hanya sekolahnya saja yang membuat pungutan itu, sekolah-sekolah lain pun seperti kota Padang dan yang lain-juga memberlakukan hal yang sama. Katanya hal tersebut diberlakukan demi kemajuan sekolah, “iuran ini bukan disekolah ini saja yang membuat, tapi banyak sekolah contoh di kota Padang yang memberlakukan hal semacam itu, saya rasa kalau untuk kemajuan sekolah ndak masalah, kalau cuma mengandalkan uang sekolah saja saya rasa itu tidak mungkin,” tutur Nur Eliawati.
Nur Eliawati membanding-bandingkan dengan sekolah dikota Padang , pada hal kota Pariaman sendiri adalah kota layak anak dan kota berwacana wajib belajar 12 tahun. Hal itu seringkali diungkapkan oleh Mukhlis Rahman sebagai walikota dalam sambutannya dibeberapa pertemuan. Ia menjelaskan bahwa iuran ini sudah diberlakukan semenjak tahun 2009, “bukan hanya siswa saja yang dipungut, tapi juga guru-guru dan staf disini juga dikenakan pungutan itu. Pungutan gelim itu tidak wajib, siswa disini juga tidak diharuskan membayar, hal itu bersifat sukarela setiap hari,” katanya lagi dengan nada emosi.
Nampak tilas emosi menggarang sang kepala sekolah ketika menjawab pertanyaan wartawan yang sejatinya ditekankan untuk menetralisir opini warga yang berkembang, berakibat membuat cacat nama baik sekolah. Ironis, Nur Eliawati menganggap pertanyaan yang diajukan oleh wartawan tidak wajar, Nur menganggap wartawan yang datang bermaksud menuding dirinya sebagai pesalah. Tentu saja wartawan juga merasa gerah atas amarah yang dikedepankan kepala sekolah, pasalnya, kedatangan kami sangat beralasan tanpa menuding, hanya meminta kejelasan agar dapat meluruskan ketidak-senangan walimurid terhadap pungutan tersebut.
Jamuan pun berlanjut dari kepala sekolah yang meninggalkan kami diruangan-serta-kedatangan delapan orang staf, wakil dan pegawai ber-gender laki-laki entah apa maksudnya. Sangat lucu, perihal jamuan Nur Eliawati,S.Pd terhadap wartawan yang datang.
Klarifikasi wartawan pun berakhir atas konfirmasi yang diberikan oleh pegawai-pegawai ber-gender tersebut meski sekilas mereka menjawab saling mendahului. Dari sini barulah jelas mereka menjawab bahwa informasi iuran seribu rupiah diwajibkan perhari tersebut tidak lah benar, “iuran itu kami disini menekankan agar tidak ada kekeliruan dengan walimurid bahwa tidak diwajibkan seperti yang dikatakan, itu sifatnya sukarela saja namanya gerakan seratus (GESER). Gunanya untuk transportasi sekolah ketika ada kegiatan atau musibah yang menimpa siswa contohnya, jadi kami tidak perlu merental mobil dan walimurid pun sudah mengetahuinya serta komite pun menyetujui, dan mobil itu hasilnya, jadi memudahkan urusan dari kendala transportasi sekolah,” jelas mereka. Guru-guru yang ada saat itu menilai bahwa informasi tersebut adalah kesalahan dari murid. Diakhir pembicaraan, guru-guru tersebut meminta maaf kepada wartawan yang datang jika ada ke khilafan dari pihak sekolah dalam memberikan klarifikasi.
======================================================================================
Komentar
Posting Komentar